DARAH KEMATIAN - AJI BELLO

Antologi FLP 2010
Aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang memukul dadaku dengan palu berulang-ulang. Rasanya sakit. Aku mencoba berteriak tapi tidak ada yang mendengar. Orangtuaku lagi-lagi tidak ada di rumah. Aku sendiri. Kezie kakakku yang biasa menemani, kini ia pun tidak ada.
“Sakiiiiiiiit.” pukulan itu terasa begitu keras, hingga membuat seluruh tubuhku terasa rapuh, gemetar hingga tidak mampu untuk kugerakkan. Ingin rasanya aku meraih Handphone  yang kuletakkan di kamar. Tapi rasa sakit itu membuatku terpatung tidak berdaya dengan napas terasa sesak. Aku hanya bisa berdoa dalam hati dan menyandarkan tubuhku ke tembok teras rumah. Lalu...
***
“Dek kamu kenapa?” aku mendengar suara itu berulang-ulang, membuatku bangun dari ketaksadaran, ternyata kini aku berada dalam kamar.
“Kak... Kaila di mana?”
“Kamu di kamar. Untung  tadi Fahmi nelpon kakak. Katanya kamu pingsan di teras rumah. Kamu sudah baikan?” tanyanya sedikit cemas.
“Ah…iya Ka. Mungkin hanya kecapetan setelah  menyiram bunga.” sengaja aku berbohong demi menghindari pertanyaan lain yang nantinya ia lontarkan. “Kak! Fahminya dimana? Dan ayah-ibu belum pulang Kak?” tanyaku setelah melihat langit telah berubah hitam pekat dari balik jendela.
"Fahmi kayaknya punya urusan penting Dek’. Jadi setelah dia mengantarmu, dia langsung pulang. Kalo ayah-ibu belum pulang?”
"Mungkin hari ini mereka lembur lagi seperti biasa. Kakak mau kemana?”
"Sekarang kakak mau ke rumah Raisa, Tidak apa kan kalau kakak tinggal? telpon saja dek, kalo butuh sesuatu.”
"Iya Kak, Pergi saja.  Lagipula rasanya aku udah sedikit baikan. Tenang aja, masa Kaila sakit.” ujarku dengan ekspresi sesehat mungkin.
"Bagus deh kalo gitu.”
Setelah ia keluar dari kamar. Diam-diam aku mengambil amplop yang telah lama kusembunyikan di bawah lipatan baju dalam lemari. Tanpa sedikit pun aku menyingkapnya. Tapi sekarang aku betul-betul ingin tahu tentang penyakit apa yang telah aku rasakan? dan untuk membunuh rasa penasaran itu dengan perasaan was-was aku harus membuka amplop itu. Walaupun aku tahu nantinya akan terjadi sesuatu padaku.
Dengan membaca bismillahirahmanirahim aku membuka mata dengan perlahan, berharap apa yang kubayangkan tidak terjadi. Aku mulai membuka surat itu. Tiba-tiba napasku menjadi sesak seperti orang yang lagi asma. Setelah aku membaca deretan demi deretan kata yang tertulis, dan tiba pada kata "bronhitis” kepalaku terasa dijatuhi batu besar. P using. Bibirku tidak mampu lagi untuk berkata apa-apa. Lantaran aku tahu, kalo penyakit itu cukup berbahaya untuk orang sepertiku.
Sambil menyandarkan tubuh ke tepi ranjang. Mataku mulai berputar-putar di langit kamar memperhatikan setiap sudut, tapi otakku berputar pada penyakit yang kualami sekarang.
***
Pagi ini tampak begitu indah dengan suara kicauan burung dari balik pohon bambu. Hembusan angin yang membuat para ranting bergoyang seakan melambaikan tangan padaku, yang sejak tadi telah siap untuk  ke kampus. Tepat pukul 07.00 pagi. Aku berangkat dengan menggunakan mio pink.
Di tengah perjalanan  kampus. Kembali aku merasakan sakit itu, aku berhenti di sebuah halte. Tempat para penumpang menunggu angkutan. Kini tempat itu tidak seramai seperti dulu. Hanya dihuni seorang cewek berjilbab. "Mungkin ia berumur dua puluh tahun ke atas” pikirku setelah melihat itu wajahnya. Dari bahasa yang digunakannya mungkin ia berasal dari Malaysia, atau asli Malaysia. Entahlah yang pasti aku tidak suka dengan sikapnya yang sok kenal itu.
“Kenape tu wajeh kusu bange’. Kau saki’ ?” tanyanya sambil menghampiri dan duduk tepat di sampingku.
“Tidak kok Mbak,” keringat dingin mulai menyelimuti wajahku. Bibirku terasa pucat. Sungguh aku tidak mampu untuk bergerak. Pukulan keras itu terasa begitu nyata aku rasakan dalam dadaku.
“Macem mane nggga pa-pa, tu wajehmu puce’? Kalau boleh saye beri saran, lebih baek kau ke rumah sakit sekarang.”
Aku betul-betul geram akan sikapnya yang sok kenal. Apalagi mengeluarkan kata rumah sakit. Tempat yang membuatku menjadi ngeri apalagi kecelakaan yang menimpa adikku setahun silam  akibat kecelakaan. Kondisinya sungguh tragis. Kepalanya hancur tidak berbentuk lagi, dan darah mengalir tanpa henti di saat umurnya menginjak tujuh tahun. Mengingat kejadian itu, tiba-tiba kepalaku pusing, dan perutku terasa mual. Terlebih lagi dengan darahnya. Aku sungguh takut akan darah. Apalagi jika nantinya melakukan operasi. Hal itu tidak akan sanggup aku lakukan.
“Aku bilang Tidak apa-apa, ya tidak apa-apa Mbak. Tidak usah sok akrab. Lebih baik urus saja urusan Mbak.” ujarku dengan emosi tidak tertahan lagi.
“Bukannye mau di tolong jadi balek mareh, dasar aneh.” lalu ia pun pergi.
Setelah hampir sejam aku berada di halte. Sendiri, tidak diusik lagi dengan cewek Malaysia itu, aku pun berbaring sejenak. Merasa sedikit kuat. Aku pun memutar mio pink lalu pulang.
***
Malam merajai alam sejak tiga jam lalu. Saat matahari kembali ke kamar tidurnya. Rembulan sudah melangkahkan kaki. Menapak dinding langit. Malam ini ayah mengadakan  syukuran kecil-kecilan atas kenaikan pangkatnya.
Bahan makanan yang sejak tadi sore disediakan, kini diolah dengan pembagian tugas sesuai kemampuan. Ayah dan ibu membuat makanan, sedang aku dan Kak Kezie membuat kue. Walaupun sejak siang tadi aku merasa tidak enak badan. Tapi kini aku tetap menyempatkan diri untuk membantu. Ini kulakukan semata-mata agar tidak menimbulkan rasa curiga orangtuaku.
Sekuat tenaga aku mencoba menguatkan  badan, dan mencoba untuk bersikap seperti biasanya.
 “Kamu sakit, Kai?”  tanya Kak Kezie yang sejak tadi telah memperhatikan tingkahku yang sedikit lesu mengaduk olahan kue.
“Ah... tidak kok Kak, cuma sedikit pusing saja masalah tugas kuliah.”
“Tapi kok wajahmu kelihatan pucat, benar kamu tidak apa-apa?”
“Benar Kak, cuma pusing saja. Aku mau ke kamar dulu.” secepat mungkin aku menarik diri dari hadapan Kak Kezie, menghindari pertanyaan lain.
Setelah berada dalam kamar. Di depan cermin kembali aku mengoles bedak dan lipstik demi menutupi wajahku yang terbilang pucat. Tapi lingkaran warna kecoklatan di sekitar mataku tidak bisa hilang. Walaupun aku telah mendempulnya beberapa senti sekali pun.
Keringat dingin kembali membanjiri tubuhku. Ada peran batin dalam diriku. Apakah penyakit ini harus aku katakan pada orangtuaku atau tidak? Aku sungguh takut akan darah! lagipula pasti mereka sibuk! Jadi apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan itu kembali membuat kepalaku terasa pusing.
“Dek’kamu baik-baik saja kan?  Tidak ada yang kamu sembunyikan.” ujarnya spontan, tanpa aku rasa ia telah berada di sampingku. Bicaralah dengan kakak, kalo memang adek punya masalah.”
Dari perkataannya mungkin sudah saatnya aku memberitahukan hal ini padanya. Membagi masalahku dengan saudaraku sendiri. Karena aku tahu ia pasti akan memberikan solusi yang terbaik untukku. “Begini Kak, akhir-akhir ini aku merasa jantungku terasa sakit seperti dipukul sesuatu.”
“Jantung sakit, ha…ha… kamu bercanda, masa masih remaja sudah sakit jantung, itu mah penyakit orangtua. Mungkin kamu kecapetan kali. Lebih baik, sekarang kamu tidur, biar kakak selesaikan  pekerjaan kakak.”  ternyata apa yang aku katakan hanya dianggap lelucon. Mungkin orangtuaku pun akan bertindak seperti itu, menganggap hali ini hanya penyakit orangtua dan sebagai bualan belaka. Lebih baik tidak perlu kuberitahu siapapun, karena aku tahu di rumah ini pasti tidak akan ada yang mengerti kondisiku.
 Setelah Kak Kezie meninggalkanku. Tiba-tiba aku merasakan sakit itu kambuh lagi. Sekuat tenaga aku menahan untuk tidak berteriak. Sambil menggulingkan badanku di kasur dan menggigit ujung selimut, aku menahan sakit . Rasanya sakit didadaku ini terasa menyebar keseluruh tubuhku. Membuat kepalaku terasa ingin pecah. Aku mencoba mengutak-atik laci tempat biasa aku menyimpang obat. “Astaga habis” gumamku. Rasanya ajalku telah berada di depan mata. Aku hanya bisa pasrah terhadap takdirku kini. Penglihatanku telah buram, tak bisa lagi melihat jelas. Semua benda-benda di sekitarku aku tabrak.
***
 Alhamdulillah nak kamu sudah siuman, ini ibu sayang.”
“Kaila sekarang di mana?” tanyaku setelah melihat jarum impus yang melekat di tanganku.
“Sekarang lo di rumah sakit. Maafin kakak karena udah nggak percaya. Kakak emang tolol.”
Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tak suka dengan bau rumah sakit, jarum suntik, darah, dan semua hal yang berkaitan dengan rumah sakit. Tempat dimana nyawa adikku direnggut oleh Malaikat maut.
“Nak kenapa kamu tak mengatakannya kepada kami. Kalau sebenarnya kamu sakit.”  ujar ibuku yang telah lembab oleh air mata.
“Ini semua aku lakukan karena aku tak mau di bawa ke rumah sakit bunda. Aku mau pulang. Aku tak mau di sini. Bunda tolong antar aku pulang sekarang.”  wajah adikku yang berselimut darah, kini teringat jelas diingatanku.
“Kamu sakit nak, kamu butuh perawatan. Di sini kamu akan cepat sembuh.” Kata ibuku sambil memohon.Tak ingin melihat kesedihannya aku menenangkan diri dan mencoba untuk sabar.
***
Aku tak sanggup lagi untuk tetap bertahan lama dalam ruangan berbentuk kubus berdinding putih, berbau obat dan orang-orang berpakaian serba putih itu. Aku mencoba bangun dan melepas jarum impus ditanganku. Aku mencoba keluar dari ruangan itu, setelah melihat Kak Kezie, orangtuaku dan Fahmi tertidur pulas. Aku keluar dengan sisa tenaga yang kumiliki. Darah ditanganku tak hentinya menetes dilantai. Kepalaku menjadi terasa berat melihat tetesan darah itu berserakan di lantai tanpa aturan. Tapi kucoba sekuat tenaga untuk tetap bisa keluar. Dihadapanku terlihat jelas wajah adikku sambil berkata “Kak tolong temani aku.” Aku menjadi kalap dan berlari tergopoh-gopoh bagai diburu beberapa penodong, “Aaaaaaaahhhh” aku tersungkur, lalu duduk sambil menutup kedua telingaku seperti orang tak waras lagi.  Aku tak mampu lagi berjalan,  napasku sulit aku kendalikan. Terpaksa aku ngesot untuk bisa keluar.
“Lo mau kemana Kaila?” tanyanya sambil memegang erat lenganku.
“Ini bukan urusanmu lepaskan. Lo nggak tahu betapa ngerinya gue di tempat ini. Cepat lepaskaaan,” ucapku meraung sekeras-kerasnya. Tak menghiraukan lagi pandangan sinis orang-orang di sekitarku.
“Iya, gue tahu.  Gue emang bukan siapa-siapa dalam keluarga lo. Tapi gue ingin liat lo sembuh Kai.”
“Ciiiiiiiiiiiih, dengar yah kesehatan gue. Gue yang ngerasain. Mau sembuh atau tidak itu bukan urusan lo. Cepat lepaskaaaaaaan. Gue mau keluar dari sini tolol.” Aku tak mampu lagi untuk berpikir jernih.
 “Nak dengarkan ayah. Kalo itu memang bukan urusan nak Fahmi, maka itu menjadi urusan ayah,  yang ingin melihat kesembuhanmu.”
Aku kaget ternyata mereka telah bangun. Tapi aku tak menghiraukan perkataannya, yang aku inginkan keluar dari tempat angker ini.
“APA ? sekarang ayah baru bilang, kalo ini urusan ayah. Selama ini ayah dimana? ayah hanya sibuk dengan jabatan. Baru setelah aku sakit, kalian baru mau di sampingku. Dimana ayah dan ibu sebelumnya? Dimana ayah saat aku butuhkan?  yang tak tau apa yang kurasakan? dan hal apa yang paling aku takuti? dan karena ulah kalian pula dek Biyan harus meninggal…meninggal, nyawanya terlambat kalian tolong. Ayah dan ibu hanya sibuk akan karir, jabatan, dan uang.”
“Nak adikmu meninggal itu karena kehendak yang di Atas, maafkan kami. Izinkan kami untuk memperbaiki kesalahan kami, dengan melihat kesembuhanmu.”
“Iya Kai, maafkan ayah dan ibu. Allah swt saja maha pemaaf” tutur Kak Kezie menasehatiku. Mendengar sebutan kata Allah swt, beringsut aku menjadi diam.  Seolah aku membayangkan kematian di depan mata.
Semua kaget atas tingkahku yang aneh, langsung berjalan perlahan diantar oleh dua orang suster kembali ke kamar  dan membaringkan diri. Kondisi kembali sunyi, suster telah usai memasang jarum impus ditanganku. Dan menyuntikkan sesuatu hingga kumerasa ingin tertidur. Tak cukup hitungan jam aku pun telah berada dalam alam bawah sadar.
***
Dari hasil ronsen, dokter menyarankan agar secepatnya aku melakukan operasi. Degup jantung Fahmi semakin cepat, karena ia hanya sendiri mendengarkan perintah dokter, untuk segera diberitahukan pada orangtuaku lantaran kini mereka tak sadarkan diri.
“Tolong ya dek, segera diberitau pada orangtuanya, karena ini harus cepat dilakukan.”
“Baik dok.”
Setelah orangtuaku siuman, dengan pelan Fahmi mulai menceritakan perihal satu-satunya jalan penyembuhanku. Tentunya tanpa didengar olehku.
“Ia harus operasi sekarang juga om,” tutur Fahmi dengan pelan. Bibir terkatup, kaget, sedih, bercampur menjadi satu menyelimuti tangis ibuku
“Hal ini harus secepatnya kita beritahu Kailah om,” tambah Fahmi
“Kaulah nak, yang memberitahukannya kami betul-betul tak sanggup. Mengingat peristiwa semalam, mungkin ia sangat benci pada kami.”
“Baik kalo begitu om.”
Dengan langkah pasti, Fahmi mulai membuka pintu kamarku. Terasa dingin. Angin bertiup semakin kencan dari cela-cela jendela, petir menyambar  dan hujan pun turun.
Dari balik pintu, aku melihat Fahmi melangkah mendekatiku….Tepat di sampingku, ia mengusap keningku yang tak lagi menunjukkan tanda kehidupan.
“Kailah…ayo bangun, aku ingin memberi kabar baik tentang kesembuhanmu.” katanya sambil memegang erat tanganku yang sangat dingin bagai  es membeku. Kini aku telah menjadi roh.  Dirabanya denyut nadi dan jantung, rupanya tak lagi bekerja seperti biasa. Secepatnya ia berlari memanggil dokter.
Setelah pemeriksaan detak jantung dan denyut nadi dipergelangan tanganku. Dokter Ari menggelengkan kepala. Kemudian menyelimuti jasadku dengan kain putih. Aku melihat Ibuku histeris, tapi aku tak mampu untuk berbuat apa-apa untuk memeluknya. Ini adalah takdir hidupku. Kini aku tak lagi takut akan darah, dan tak sendiri lagi karena kini aku bersama Biyan adikku yang menemaniku hingga akhir waktu. “Selamat jalan!”

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan beri saran dan kritik. Terima kasih