ESSAY - DEWA-DEWI GLOBALISASI

0 komentar

         Dewasa ini pengaruh globalisasi terus saja menggelinding bersama waktu yang juga ikut berputar. Kemajuan-kemajuan pun dapat dirasakan bagi suatu negara, khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Bayangkan saja, segala sesuatu dapat kita ketahui, apa yang terjadi di utara dapat kita ketahui di selatan begitu pun sebaliknya. Banyak manfaat yag dapat kita peroleh dari adanya globalisasi karena sudah tidak terjadi batas ruang dan waktu, namun kita juga tidak dapat terlepas dari dampak negatif yang begitu hebatnya mempengaruhi pola dan tindak tanduk manusia.  Tidak salah jika seorang ahli yang bernama Stackhouse menyebutkan adanya tiga dewa globalisasi, yaitu dewa Mammon (materialisme), Mars (perang/kekerasan) dan dewi Eros (pornografi). Sebagaimana kita ketahui bahwa sungguh benar adanya jika tiga dewa ini seringkali berkolaborasi dalam kehidupan etika dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga etika dan kemanusiaan pada umumnya tidak bermakna lagi sebagai norma kehidupan.

Dewa Mammon (materialisme) misalnya, telah menciptakan "malaikat" pembangunan yang mendorong orang ingin terus berproduksi dan mengkonsumsi supaya materi semakin menguasai kehidupan kita. Dewa Mammon mungkin dapat dianggap sebagai dewa tertinggi dari dewa-dewi ini karena dialah yang paling berjasa melahirkan dua dewa lainnya, bahkan masih banyak lagi dewa-dewi globalisasi yang sedang lahir dan bermunculan, misalnya dewa Hedonisme dan dewa Konsumerisme.

Mammonisme telah menjadi dewa yang paling menguasai umat manusia. Sekarang ini materi seolah telah menjadi ukuran segala sesuatu. Apa saja harus dibeli dan bisa di beli. Dalam masyarakat mammonistik, agama resmi tinggal menjadi formalistik dan seremonistik. Nilai agama itu telah diganti menjadi nilai Mammon, nilai uang. Tanpa uang anda tidak bisa menikmati sesuatu dan tanpa menikmati hidup maka hidup seolah menjadi hampa. Itulah hedonisme, suatu bentuk kehidupan yang mengagungkan kesenangan dan kenikmatan belaka. Membeli dan dibeli, menikmati dan dinikmati, itulah tujuan hidup mammonisme yang telah menyingkirkan semua tujuan hidup lainnya. Akibatnya, hubungan kemanusiaan tidak lain dari hubungan materi. Tanpa materi, hubungan dengan sesama manusia seolah tidak bernilai. Hubungan kemanusiaan seolah hanya ditandai dengan "transaksi".

Baru-baru ini,  di Belanda menulis sesuatu kepada mitra kerjanya di Indonesia dengan kata-kata yang sangat dalam menggambarkan situasi ini. "Janganlah hubungan kemitraan kita dilihat seperti sebuah transaksi perbankan sehingga seluruh relasi diukur hanya dengan sejumlah cash". Pernyataan itu sungguh menggugah rasa kemanusiaan kita di arus kuat globalisasi dengan dewa Mammon-nya. Kiranya seluruh relasi kemanusiaan kita perlu dievaluasi dan direnungkan kembali sesuai dengan nilai-nilai luhur agama.

Lain mammon lain pula Mars. Dewa Mars adalah dewa yang kedua, yang merajalela dan mempengaruhi kehidupan manusia. Perang hanyalah salah satu wujud dari simbol Mars yang sesungguhnya. Mars adalah dewa kekerasan dalam mitologi Yunani. Keperkasaannya selalu menjadi momok baik bagi dewa lain maupun bagi manusia, karena kebengisan yang tercermin dari wajahnya. Bukankah teror yang sekarang ini menjadi kata terpopuler di dunia menjadi wujud paling nyata dari dewa Mars globalisasi? Kekerasan di mana-mana, teror di mana-mana, bukan hanya dalam bentuk bom yang meledak di mana-mana, tetapi dalam bentuk lain seperti perampokan, pembunuhan, penculikan dan semua bentuk kekerasan yang seolah sah dan wajar dalam kehidupan manusia masa kini.

Kekerasan bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap lingkungan hidup kita. Kalau kita misalnya merenungkan peristiwa banjir bandang dan longsor yang menelan ratusan korban di Sumatera Utara, maka nyatalah bahwa itu terjadi sebagai akibat kekerasan manusia terhadap alam. Perambahan hutan sebagai salah satu bentuk kekerasan manusia terhadap lingkungan telah membawa akibat yang sangat fatal. Penggambaran ini sungguh memperlihatkan wujud nyata dari kehidupan yang seakan porak poranda karena adanya kekerasan dan aksi teror yang marak terjadi akhir-akhir ini. 

Dewi Eros sesungguhnyalah pembawa cinta dan damai dalam hidup manusia. Tetapi kini, erotisme seluruh dunia merupakan anak kandung dari mammonisme yang menghalalkan segala cara mendapatkan uang. Sungguh tragis memang, contohnya saja yang sangat terkenal yaitu Cyber-porno yang merupakan salah satu bisnis mengeksploitasi umat manusia demi uang. Kalau ia hanya menjadi bisnis, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Tetapi pornografi telah merusak moral banyak manusia di dunia dengan penggambaran-penggambaran yang tidak sehat dan tidak mendidik. Apa yang ditonjolkannya hanyalah hedonisme dan kekerasan. Inilah dampak globalisasi yang menyusup melalui komunikasi dan informasi di dunia maya yang melahirkan dewa baru bernama Eros.

 Pemujaan terhadap seks di dunia maya ini membawa nilai baru dalam hubungan rumah tangga, hubungan laki-laki dan perempuan dan hubungan antar- manusia seolah tanpa penghormatan terhadap gender. Tidak ada dunia yang tidak dilanda pornografi, mulai dari internet sampai kepada tampilan handphone yang mini bisa menjadi ajang menikmati pornografi. Dewi Eros (erotica) tak bisa lagi menjadi dewi yang paling berkuasa di era globalisasi saat ini.

Penggambaran dewa-dewi ini sungguh sangat tepat karena dilematika pengaruh globalisasi sekarang ini lebih banyak mempengaruhi kehidupan manusia dari segi dampak negatifnya. Sangat ironis rupanya telah terjadi pergeseran paradigma dalam soal agama. Agama lama yang masih formal diakui umat manusia dan Tuhan yang benar, sedang dimarginalisasi oleh dewa-dewi baru, yang ternyata lebih menarik dan lebih meyakinkan banyak manusia di dunia. Materi, kenikmatan, kekerasan dan erotisme sedang menguasai sanubari kita dan ternyata semua itu tidak membuat kita menjadi manusia bebas melainkan menjadi manusia yang semakin terpenjara dan terbelenggu. Karena itu, globalisasi dalam bentuk dewa-dewi baru itu tidak lebih dari dewa-dewi palsu (pseudo-lords) yang menyesatkan. Yang karenanya harus diwaspadai dan disiasati. Supaya tidak memerangkap kehidupan kita.

 Kita harus kembali memberi tempat pada Tuhan yang asli dalam kehidupan kita, dalam relasi-relasi kita, baik relasi dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan hidup kita. Dengan memberi tempat pada Tuhan yang asli dalam sanubari kita, maka relasi-relasi kemanusiaan kita yang asli dan hakiki akan pulih dan akan memberikan kebebasan dan kemerdekaan yang sejati kepada kita.

Dengan mengembalikan Tuhan bertahta dalam hidup kita, maka dewa-dewi globalisasi yang destruktif akan menyingkir dari kehidupan kita. Kita harus mensyukuri keberadaan kita sebagai orang beragama dan ber-Tuhan, karena selalu tersedia kesempatan untuk mengelakkan diri dari pengaruh buruk globalisasi dengan terus meyakini dan mengamalkan ajaran agama yang kita anut.