![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZYMaTj3jAJ1UMzEVYf6Ay33HqM4po1thIOAK4DEyJOP-6QGEqh89HOe0UDxcxT7KnLMO1lTMwyvYmsls2vIZGtGe98m7hyKcg159GmmBeZu9z8lB7-wAqReWd919WPWZNlGqkvBKt19xv/s1600/AJI+BELLO.jpg) |
Antologi FLP 2010 |
Aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang memukul dadaku dengan palu
berulang-ulang. Rasanya sakit. Aku mencoba berteriak tapi tidak ada yang
mendengar. Orangtuaku lagi-lagi tidak ada di rumah. Aku sendiri. Kezie kakakku
yang biasa menemani, kini ia pun tidak ada.
“Sakiiiiiiiit.” pukulan itu terasa begitu keras, hingga membuat seluruh
tubuhku terasa rapuh, gemetar hingga tidak mampu untuk kugerakkan. Ingin rasanya
aku meraih Handphone yang kuletakkan
di kamar. Tapi rasa sakit itu membuatku terpatung tidak berdaya dengan napas
terasa sesak. Aku hanya bisa berdoa dalam hati dan menyandarkan tubuhku ke
tembok teras rumah. Lalu...
***
“Dek kamu kenapa?” aku mendengar suara itu berulang-ulang, membuatku bangun
dari ketaksadaran, ternyata kini aku berada dalam kamar.
“Kak... Kaila di mana?”
“Kamu di kamar. Untung tadi Fahmi nelpon
kakak. Katanya kamu pingsan di teras rumah. Kamu sudah baikan?” tanyanya
sedikit cemas.
“Ah…iya Ka. Mungkin hanya kecapetan setelah menyiram bunga.” sengaja aku berbohong demi
menghindari pertanyaan lain yang nantinya ia lontarkan. “Kak! Fahminya dimana? Dan ayah-ibu belum pulang Kak?” tanyaku
setelah melihat langit telah berubah hitam pekat dari balik jendela.
"Fahmi kayaknya punya urusan penting Dek’. Jadi setelah dia mengantarmu,
dia langsung pulang. Kalo ayah-ibu belum pulang?”
"Mungkin hari ini mereka lembur lagi seperti biasa. Kakak mau kemana?”
"Sekarang kakak mau ke rumah Raisa, Tidak apa kan kalau kakak tinggal?
telpon saja dek, kalo butuh sesuatu.”
"Iya Kak, Pergi saja. Lagipula rasanya
aku udah sedikit baikan. Tenang aja, masa Kaila sakit.” ujarku dengan
ekspresi sesehat mungkin.
"Bagus deh kalo gitu.”
Setelah ia keluar dari kamar. Diam-diam aku mengambil amplop yang telah
lama kusembunyikan di bawah lipatan baju dalam lemari. Tanpa sedikit pun aku
menyingkapnya. Tapi sekarang aku betul-betul ingin tahu tentang penyakit apa
yang telah aku rasakan? dan untuk membunuh rasa penasaran itu dengan perasaan
was-was aku harus membuka amplop itu. Walaupun aku tahu nantinya akan terjadi
sesuatu padaku.
Dengan membaca bismillahirahmanirahim aku membuka mata dengan perlahan,
berharap apa yang kubayangkan tidak terjadi. Aku mulai membuka surat itu.
Tiba-tiba napasku menjadi sesak seperti orang yang lagi asma. Setelah aku
membaca deretan demi deretan kata yang tertulis, dan tiba pada kata "bronhitis”
kepalaku terasa dijatuhi batu besar. P using. Bibirku tidak mampu lagi untuk
berkata apa-apa. Lantaran aku tahu, kalo penyakit itu cukup berbahaya untuk
orang sepertiku.
Sambil menyandarkan tubuh ke tepi ranjang. Mataku mulai berputar-putar di langit
kamar memperhatikan setiap sudut, tapi otakku berputar pada penyakit yang
kualami sekarang.
***
Pagi ini tampak begitu
indah dengan suara kicauan burung dari balik pohon bambu. Hembusan angin yang membuat para ranting bergoyang seakan
melambaikan tangan padaku, yang sejak tadi telah siap untuk ke kampus. Tepat pukul 07.00 pagi. Aku
berangkat dengan menggunakan mio pink.
Di tengah
perjalanan kampus. Kembali aku merasakan
sakit itu, aku berhenti di sebuah halte. Tempat para penumpang menunggu
angkutan. Kini tempat itu tidak seramai seperti dulu. Hanya dihuni seorang
cewek berjilbab. "Mungkin
ia berumur dua puluh tahun ke atas” pikirku setelah melihat itu wajahnya. Dari
bahasa yang digunakannya mungkin ia berasal dari Malaysia, atau asli Malaysia.
Entahlah yang pasti aku tidak suka dengan sikapnya yang sok kenal itu.
“Kenape tu wajeh kusu
bange’. Kau saki’ ?” tanyanya sambil menghampiri dan duduk tepat di sampingku.
“Tidak kok Mbak,”
keringat dingin mulai menyelimuti wajahku. Bibirku terasa pucat. Sungguh aku tidak
mampu untuk bergerak. Pukulan keras itu terasa begitu nyata aku rasakan dalam
dadaku.
“Macem mane nggga
pa-pa, tu wajehmu puce’? Kalau boleh saye beri saran, lebih baek kau ke rumah
sakit sekarang.”
Aku betul-betul geram
akan sikapnya yang sok kenal. Apalagi mengeluarkan kata rumah sakit. Tempat
yang membuatku menjadi ngeri apalagi kecelakaan yang menimpa adikku setahun
silam akibat kecelakaan. Kondisinya
sungguh tragis. Kepalanya hancur tidak berbentuk lagi, dan darah mengalir tanpa
henti di saat umurnya menginjak tujuh tahun. Mengingat kejadian itu, tiba-tiba
kepalaku pusing, dan perutku terasa mual. Terlebih lagi dengan darahnya. Aku
sungguh takut akan darah. Apalagi jika nantinya melakukan operasi. Hal itu
tidak akan sanggup aku lakukan.
“Aku bilang Tidak
apa-apa, ya tidak apa-apa Mbak. Tidak usah sok akrab. Lebih baik urus saja
urusan Mbak.” ujarku dengan emosi tidak tertahan lagi.
“Bukannye
mau di tolong jadi balek mareh, dasar aneh.” lalu ia pun pergi.
Setelah hampir sejam
aku berada di halte. Sendiri, tidak diusik lagi dengan cewek Malaysia itu, aku
pun berbaring sejenak. Merasa sedikit kuat. Aku pun memutar mio pink
lalu pulang.
***
Malam merajai alam sejak
tiga jam lalu. Saat matahari kembali ke kamar tidurnya. Rembulan sudah
melangkahkan kaki. Menapak dinding langit. Malam ini ayah mengadakan syukuran kecil-kecilan atas kenaikan
pangkatnya.
Bahan makanan yang
sejak tadi sore disediakan, kini diolah dengan pembagian tugas sesuai kemampuan.
Ayah dan ibu membuat makanan, sedang aku dan Kak Kezie membuat kue. Walaupun
sejak siang tadi aku merasa tidak enak badan. Tapi kini aku tetap menyempatkan diri untuk membantu. Ini kulakukan semata-mata
agar tidak menimbulkan rasa curiga orangtuaku.
Sekuat tenaga aku
mencoba menguatkan badan, dan mencoba
untuk bersikap seperti biasanya.
“Kamu sakit, Kai?” tanya Kak Kezie yang sejak tadi telah
memperhatikan tingkahku yang sedikit lesu mengaduk olahan kue.
“Ah... tidak kok Kak, cuma
sedikit pusing saja masalah tugas kuliah.”
“Tapi kok wajahmu kelihatan
pucat, benar kamu tidak apa-apa?”
“Benar Kak, cuma pusing
saja. Aku mau ke kamar dulu.” secepat mungkin aku menarik diri dari hadapan Kak
Kezie, menghindari pertanyaan lain.
Setelah berada dalam
kamar. Di depan cermin kembali aku mengoles bedak dan lipstik demi menutupi
wajahku yang terbilang pucat. Tapi lingkaran warna kecoklatan di sekitar mataku
tidak bisa hilang. Walaupun aku telah mendempulnya beberapa senti sekali pun.
Keringat dingin kembali
membanjiri tubuhku. Ada peran batin dalam diriku. Apakah penyakit ini harus aku
katakan pada orangtuaku atau tidak? Aku sungguh takut akan darah! lagipula
pasti mereka sibuk! Jadi apa yang harus aku lakukan? Pertanyaan itu kembali membuat
kepalaku terasa pusing.
“Dek’kamu baik-baik saja
kan? Tidak ada yang kamu sembunyikan.” ujarnya
spontan, tanpa aku rasa ia telah berada di sampingku. Bicaralah dengan kakak,
kalo memang adek punya masalah.”
Dari perkataannya
mungkin sudah saatnya aku memberitahukan hal ini padanya. Membagi masalahku
dengan saudaraku sendiri. Karena aku tahu ia pasti akan memberikan solusi yang
terbaik untukku. “Begini Kak, akhir-akhir ini aku merasa jantungku terasa sakit
seperti dipukul sesuatu.”
“Jantung sakit, ha…ha… kamu
bercanda, masa masih remaja sudah sakit jantung, itu mah penyakit orangtua.
Mungkin kamu kecapetan kali. Lebih baik, sekarang kamu tidur, biar kakak
selesaikan pekerjaan kakak.” ternyata apa yang aku katakan hanya dianggap
lelucon. Mungkin orangtuaku pun akan bertindak seperti itu, menganggap hali ini
hanya penyakit orangtua dan sebagai bualan belaka. Lebih baik tidak perlu kuberitahu
siapapun, karena aku tahu di rumah ini pasti tidak akan ada yang mengerti
kondisiku.
Setelah Kak Kezie meninggalkanku. Tiba-tiba
aku merasakan sakit itu kambuh lagi. Sekuat tenaga aku menahan untuk tidak
berteriak. Sambil menggulingkan badanku di kasur dan menggigit ujung selimut,
aku menahan sakit . Rasanya sakit didadaku ini terasa menyebar keseluruh tubuhku.
Membuat kepalaku terasa ingin pecah. Aku mencoba mengutak-atik laci tempat
biasa aku menyimpang obat. “Astaga habis” gumamku. Rasanya ajalku telah
berada di depan mata. Aku hanya bisa pasrah terhadap takdirku kini.
Penglihatanku telah buram, tak bisa lagi melihat jelas. Semua benda-benda di
sekitarku aku tabrak.
***
“Alhamdulillah nak kamu sudah siuman,
ini ibu sayang.”
“Kaila sekarang di
mana?” tanyaku setelah melihat jarum impus yang melekat di tanganku.
“Sekarang lo di rumah
sakit. Maafin kakak karena udah nggak percaya. Kakak emang tolol.”
Aku tak tahu harus
berbuat apa lagi. Aku tak suka dengan bau rumah sakit, jarum suntik, darah, dan
semua hal yang berkaitan dengan rumah sakit. Tempat dimana nyawa adikku
direnggut oleh Malaikat maut.
“Nak kenapa kamu tak
mengatakannya kepada kami. Kalau sebenarnya kamu sakit.” ujar ibuku yang telah lembab oleh air mata.
“Ini semua aku lakukan
karena aku tak mau di bawa ke rumah sakit bunda. Aku mau pulang. Aku tak mau di
sini. Bunda tolong antar aku pulang sekarang.”
wajah adikku yang berselimut darah, kini teringat jelas diingatanku.
“Kamu sakit nak, kamu
butuh perawatan. Di sini kamu akan cepat sembuh.” Kata ibuku sambil memohon.Tak
ingin melihat kesedihannya aku menenangkan diri dan mencoba untuk sabar.
***
Aku tak sanggup lagi
untuk tetap bertahan lama dalam ruangan berbentuk kubus berdinding putih, berbau
obat dan orang-orang berpakaian serba putih itu. Aku mencoba bangun dan melepas
jarum impus ditanganku. Aku mencoba keluar dari ruangan itu, setelah melihat Kak
Kezie, orangtuaku dan Fahmi tertidur pulas. Aku keluar dengan sisa tenaga yang
kumiliki. Darah ditanganku tak hentinya menetes dilantai. Kepalaku menjadi
terasa berat melihat tetesan darah itu berserakan di lantai tanpa aturan. Tapi
kucoba sekuat tenaga untuk tetap bisa keluar. Dihadapanku terlihat jelas wajah
adikku sambil berkata “Kak tolong temani aku.” Aku menjadi kalap dan berlari
tergopoh-gopoh bagai diburu beberapa penodong, “Aaaaaaaahhhh” aku tersungkur,
lalu duduk sambil menutup kedua telingaku seperti orang tak waras lagi. Aku tak mampu lagi berjalan, napasku sulit aku kendalikan. Terpaksa aku
ngesot untuk bisa keluar.
“Lo mau kemana Kaila?”
tanyanya sambil memegang erat lenganku.
“Ini bukan urusanmu
lepaskan. Lo nggak tahu betapa ngerinya gue di tempat ini. Cepat lepaskaaan,”
ucapku meraung sekeras-kerasnya. Tak menghiraukan lagi pandangan sinis orang-orang
di sekitarku.
“Iya, gue tahu. Gue emang bukan siapa-siapa dalam keluarga
lo. Tapi gue ingin liat lo sembuh Kai.”
“Ciiiiiiiiiiiih, dengar
yah kesehatan gue. Gue yang ngerasain. Mau sembuh atau tidak itu bukan urusan
lo. Cepat lepaskaaaaaaan. Gue mau keluar dari sini tolol.” Aku tak mampu lagi
untuk berpikir jernih.
“Nak dengarkan ayah. Kalo itu memang bukan urusan nak Fahmi, maka itu menjadi urusan
ayah, yang ingin melihat kesembuhanmu.”
Aku kaget ternyata
mereka telah bangun. Tapi aku tak menghiraukan perkataannya, yang aku inginkan
keluar dari tempat angker ini.
“APA ? sekarang ayah
baru bilang, kalo ini urusan ayah. Selama ini ayah dimana? ayah hanya sibuk
dengan jabatan. Baru setelah aku sakit, kalian baru mau di sampingku. Dimana
ayah dan ibu sebelumnya? Dimana ayah saat aku butuhkan? yang tak tau apa yang kurasakan? dan hal apa
yang paling aku takuti? dan karena ulah kalian pula dek Biyan harus meninggal…meninggal,
nyawanya terlambat kalian tolong. Ayah dan ibu hanya sibuk akan karir, jabatan,
dan uang.”
“Nak adikmu meninggal
itu karena kehendak yang di Atas, maafkan kami. Izinkan kami untuk memperbaiki
kesalahan kami, dengan melihat kesembuhanmu.”
“Iya Kai, maafkan ayah
dan ibu. Allah swt saja maha pemaaf” tutur Kak Kezie menasehatiku.
Mendengar sebutan kata Allah swt, beringsut aku menjadi diam. Seolah aku membayangkan kematian di depan
mata.
Semua kaget atas
tingkahku yang aneh, langsung berjalan perlahan diantar oleh dua orang suster kembali
ke kamar dan membaringkan diri. Kondisi
kembali sunyi, suster telah usai memasang jarum impus ditanganku. Dan
menyuntikkan sesuatu hingga kumerasa ingin tertidur. Tak cukup hitungan jam aku
pun telah berada dalam alam bawah sadar.
***
Dari hasil ronsen, dokter
menyarankan agar secepatnya aku melakukan operasi. Degup jantung Fahmi semakin
cepat, karena ia hanya sendiri mendengarkan perintah dokter, untuk segera diberitahukan
pada orangtuaku lantaran kini mereka tak sadarkan diri.
“Tolong ya dek, segera
diberitau pada orangtuanya, karena ini harus cepat dilakukan.”
“Baik dok.”
Setelah orangtuaku
siuman, dengan pelan Fahmi mulai menceritakan perihal satu-satunya jalan
penyembuhanku. Tentunya tanpa didengar olehku.
“Ia harus operasi
sekarang juga om,” tutur Fahmi dengan pelan. Bibir terkatup, kaget, sedih,
bercampur menjadi satu menyelimuti tangis ibuku
“Hal ini harus
secepatnya kita beritahu Kailah om,”
tambah Fahmi
“Kaulah nak, yang memberitahukannya
kami betul-betul tak sanggup. Mengingat peristiwa semalam, mungkin ia sangat
benci pada kami.”
“Baik kalo begitu om.”
Dengan langkah pasti, Fahmi
mulai membuka pintu kamarku. Terasa dingin. Angin bertiup semakin kencan dari
cela-cela jendela, petir menyambar dan
hujan pun turun.
Dari balik pintu, aku
melihat Fahmi melangkah mendekatiku….Tepat di sampingku, ia mengusap keningku
yang tak lagi menunjukkan tanda kehidupan.
“Kailah…ayo bangun, aku
ingin memberi kabar baik tentang kesembuhanmu.” katanya sambil memegang erat tanganku
yang sangat dingin bagai es
membeku. Kini aku telah menjadi roh. Dirabanya denyut nadi dan jantung, rupanya tak
lagi bekerja seperti biasa. Secepatnya ia berlari memanggil dokter.
Setelah pemeriksaan
detak jantung dan denyut nadi dipergelangan tanganku. Dokter Ari menggelengkan
kepala. Kemudian menyelimuti jasadku dengan kain putih. Aku melihat Ibuku
histeris, tapi aku tak mampu untuk berbuat apa-apa untuk memeluknya. Ini adalah
takdir hidupku. Kini aku tak lagi takut akan darah, dan tak sendiri lagi karena
kini aku bersama Biyan adikku yang menemaniku hingga akhir waktu. “Selamat
jalan!”