![]() |
Antologi Pena FLP |
Sobat blogger dimanapun kalian berada...Lia ingin beritahu nih salah satu buku antologi Lia yang sudah terbit sejak tahun 2011..wah udah lama banget yah, tapi nda masalah deh..Lia hanya mau share aja tulisan Lia ini...oh iya judul tulisan Lia dalam buku antologi kupu-kupu Palestina ini adalah Jihad Intifadah. Apa sih itu jihad intifadah???..temui jawabannya dalam cerita di bawah ini yah...hehehe...selamat membaca sahabatku..!!!
Sang
fajar telah terbit dari ufuk timur disambut oleh syahduhnya kumandang adzan
subuh yang menggema memecah kesunyian menembus dinding setiap rumah.
Membangunkan penghuninya untuk menjalankan ibadah yang rutin dilakukan oleh masyarakat
palestina tanpa terkecuali. Udara hari ini terasa begitu berbeda dari hari-hari
sebelumnya terasa dingin menusuk hingga ke tulang rusuk. Air dalam penampungan tak
mau ketinggalan. Terasa dingin membeku bagaikan es di Kutub mencair. Tapi ini
tak menghilangkan niatku dan ummi untuk melaksanakan shalat shubuh berjamaah di
mesjid Bent Jubayel. Sebuah mesjid sekaligus nama kota yang aku diami.
Usai
shalat kembali ummi dengan aktifitasnya sebagai kepala rumah tangga. Kota Bent
Jubayel yang kami diami masih jauh dari kesan kota. Kotaku belum dialiri air ledeng, maka dari itu kami masih memangkul air dari
mata air sungai Yordan yang menjadi bagian dari Palestina dalam jalan kecil
yang membatasinya dari wilayah timur dengan wilayah Suria dan danau Al-hal, Loud
An Tabriyyah. Cukup memakan waktu dan menguras tenaga untuk sampai di mata air Yordan.
Makanya aku sering membantu ummi memangkul air. Aku tak punya siapa-siapa lagi
selain ummi di negara yang penuh dengan perang ini. Apalagi umurku masih
menginjak 10 tahun dengan ukuran tubuhku yang kecil. Sampai akhir hayat aku
akan menjaga ummiku karena dialah satu-satunya harta yang berharga untukku di
dunia ini.
Dalam
perjalanan aku melihat paras ummi penuh bulir keringat membawa tempayang besar berisi
air. Ia meletakkan di atas kepalanya sambil memegang dengan kedua tangannya,
sedang aku hanya membawa satu botol yang kuikatkan tepat di pinggulku, sambil
memegang ujung bulusat ummi-yang dalam bahasa Arab berarti blus.
Namaku
Muhammad Nasir Al-Abbas. Abahku bernama Ali Rijal Al-abbas, konon dari cerita
ummi, abah adalah sosok khalifah sejati tercermin dari namanya Rijal berarti
pemimpin. Banyak orang mengaguminya karena keberanian dan kepandaiannya saat
berjuang melawan tentara Israel dalam mempertahankan Palestina yang berdiri
pada tanggal 15 November 1988 di Aljiria yang kini beribukota Aljazair. Sedang
ummiku bernama Mahiratunnisa Jamilah Al-abbas berumur 25 tahun. Sesuai dengan
namanya, ummi masih tampak jamilah_yang dalam bahasa Arab berarti cantik.
Apalagi umurnya yang masih muda membuat ummi masih diidam-idamkan kaum adam.
Sesuai pesan abah sebelum meninggal sebagai syuhadah yang mati syahid dijalan
Allah swt ia memberiku amanah agar menjadi khalifah sejati yang menjaga ummi dan
tanahku Palestina. Amanah itulah yang akan kupegang seumur hidupku.
Semenjak
Israel memporak-porandakan kota kami setahun silam, membuat aku dan beberapa
anak yatim piatu lainnya tidak lagi menginjak dan merasakan nikmatnya
pendidikan. Karena kami sering dihantui rasa takut akan serangan tiba-tiba dari
tentara Israel yang tak punya rasa kemanusiaan. Maka saat ini kami hanya
diajarkan tentang cara mempertahankan diri. Seperti latihan melempar batu agar
tepat sasaran, serta belajar melempar dengan
bom Molotov. Latihan ini sebagai salah satu wujud gerakan
intifadah terhadap Israel. Setiap sore aku bersama teman-teman berkumpul di
Aqaba. Dari mata air sungai Yordan perbatasan ini kearah selatan membelah
pertengahan laut mati secara geometrical dan lembah Arabah hingga sampai di
daerah Aqabah. Tempat yang luas baik digunakan untuk latihan intifadah.
Semakin
erat aku memegang bulusat ummi, seakan tak ingin jauh darinya. Aku tak
tahu perasaan apa ini, tapi segera kutepis jauh-jauh perasaan buruk itu. Dari
kejauhan kulihat Umar menghampiriku. Ternyata, ia mengajakku untuk segera ke
Aqabah karena syek Yasser memajukan jadwal latihannya. Setelah ummi
mengijinkan. Aku pun pergi bersama Umar, salah satu teman akrabku dalam latihan
intifadah yang kini sudah yatim piatu. Makanya ia sangat bersemangat dalam
mengikuti latihan ini demi membalaskan dendam orangtua yang disayanginya.
***
Setelah
sampai di Aqabah aku melihat teman-temanku sudah latihan. Karena perjalanan
yang jauh membuat kami terlambat. Padahal sekuat tenaga kami berlari untuk
sampai tempat waktu, tapi toh kami tetap terlambat. Kami pun memasuki barisan
dan mulai berlatih. Dalam latihan kembali perasaan tak enak itu membanjiri
pikiranku. Entak apa itu? Hingga membuat Syekh marah padaku lantaran konsentrasiku buyar saat latihan.
Saat
asyik latihan tiba-tiba Aqas datang tergopoh-gopoh membawa kabar buruk.
Kepalaku seakan dijatuhkan batu besar, petir dan halilintar terasa membuat
tubuhku kaku tak berdaya setelah mendengar dari mulut Aqas bahwa tentara Israel
membom kota Bent Jubayel hingga rata tak tersisa.
“ummiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii” teriakku dengan air mata tak tertahan lagi. Aku
berlari secepat kilat menuju rumah. Mungkinkah ini perasaan tak enakku sejak
tadi. Aku merasa bersalah pada abah karena tak menjaga ummi dari serangan
Israel.
Belum
sampai di rumah aku melihat mayat berserakan di jalan dengan tubuh yang sudah
tak utuh lagi, rumah-rumah rata dengan tanah. Aku tak punya lagi tempat tinggal.
Kembali aku mencari jasad ummi, hingga aku mematung dengan mulut terkatub
melihat mayat ummi terkapar kaku bersimbah darah. Aku kehilangan ummiku.
Padahal aku merasa tak mampu berbuat apa-apa tanpa ummi disisiku. “Isreal
jahannam” teriakku di samping mayatnya. Salah satu golongan mujahidah. Aku
mencium keningnya untuk yang terakhir kali. Aku melihat tubuh ummi hancur
akibat ledakan bom Israel. Dengan semangat jihad aku mengambil sobekan kain
ummi lalu mengikatkan pada keningku. Aku hanya bisa ikhlas melihat kepergiannya.
Ia tampak tenang dengan senyum mengembang di wajahnya.
Umar
mengingatkanku untuk segera pergi, karena tentara Israel masih datang dengan
tenk besarnya. Tenggorokanku terasa begitu sakit. Sakit kehilangan ummiku
tercinta. Aku akan meneruskan janji terakhir abahku. Dengan semangat jihad aku
mengumpulkan batu-batu kecil. Kemudian berlari mengejar tentara jahanam itu. Sambil
berkata “Allahu Akbar….. Allahu Akbar” Aku melemparkan batu tepat di mata para
tentara yang telah membunuh ummiku dengan keji. Teman-teman yang melihat pun
mengikuti aksi nekatku. “serbuuuu” Hingga membuat para tentara Israel kalang
kabut melihat semangat jihad kami. Ia pun memutar tenknya. Kami pun bersorak
riang. Teman-teman mengangkat tubuhku sebagai tanda pahlawan bagi mereka. Kini
aku tak punya siapa-siapa lagi kecuali tanahku Palestina. Sampai akhir hayat, aku
akan tetap mempertahankannya. Biarlah mereka merampas nyawa orangtuaku tapi
tidak untuk Palestinaku. “Allahu Akbar…3x” gema takbir kembali menggema.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan beri saran dan kritik. Terima kasih