Dewasa ini pengaruh globalisasi terus saja
menggelinding bersama waktu yang juga ikut berputar. Kemajuan-kemajuan pun
dapat dirasakan bagi suatu negara, khususnya negara berkembang seperti
Indonesia. Bayangkan saja, segala sesuatu dapat kita ketahui, apa yang terjadi
di utara dapat kita ketahui di selatan begitu pun sebaliknya. Banyak manfaat
yag dapat kita peroleh dari adanya globalisasi karena sudah tidak terjadi batas
ruang dan waktu, namun kita juga tidak dapat terlepas dari dampak negatif yang begitu
hebatnya mempengaruhi pola dan tindak tanduk manusia. Tidak salah jika seorang ahli yang bernama Stackhouse
menyebutkan adanya tiga dewa globalisasi, yaitu dewa Mammon (materialisme),
Mars (perang/kekerasan) dan dewi Eros (pornografi). Sebagaimana kita ketahui
bahwa sungguh benar adanya jika tiga dewa ini seringkali berkolaborasi dalam
kehidupan etika dan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga etika dan kemanusiaan
pada umumnya tidak bermakna lagi sebagai norma kehidupan.
Dewa
Mammon (materialisme) misalnya, telah menciptakan "malaikat"
pembangunan yang mendorong orang ingin terus berproduksi dan mengkonsumsi
supaya materi semakin menguasai kehidupan kita. Dewa Mammon mungkin dapat
dianggap sebagai dewa tertinggi dari dewa-dewi ini karena dialah yang paling
berjasa melahirkan dua dewa lainnya, bahkan masih banyak lagi dewa-dewi
globalisasi yang sedang lahir dan bermunculan, misalnya dewa Hedonisme dan dewa
Konsumerisme.
Mammonisme
telah menjadi dewa yang paling menguasai umat manusia. Sekarang ini materi
seolah telah menjadi ukuran segala sesuatu. Apa saja harus dibeli dan bisa di
beli. Dalam masyarakat mammonistik, agama resmi tinggal menjadi formalistik dan
seremonistik. Nilai agama itu telah diganti menjadi nilai Mammon, nilai uang.
Tanpa uang anda tidak bisa menikmati sesuatu dan tanpa menikmati hidup maka
hidup seolah menjadi hampa. Itulah hedonisme, suatu bentuk kehidupan yang
mengagungkan kesenangan dan kenikmatan belaka. Membeli dan dibeli, menikmati
dan dinikmati, itulah tujuan hidup mammonisme yang telah menyingkirkan semua
tujuan hidup lainnya. Akibatnya, hubungan kemanusiaan tidak lain dari hubungan
materi. Tanpa materi, hubungan dengan sesama manusia seolah tidak bernilai.
Hubungan kemanusiaan seolah hanya ditandai dengan "transaksi".
Baru-baru
ini, di Belanda menulis sesuatu kepada
mitra kerjanya di Indonesia dengan kata-kata yang sangat dalam menggambarkan
situasi ini. "Janganlah hubungan kemitraan kita dilihat seperti sebuah
transaksi perbankan sehingga seluruh relasi diukur hanya dengan sejumlah
cash". Pernyataan itu sungguh menggugah rasa kemanusiaan kita di arus
kuat globalisasi dengan dewa Mammon-nya. Kiranya seluruh relasi kemanusiaan
kita perlu dievaluasi dan direnungkan kembali sesuai dengan nilai-nilai luhur
agama.
Lain mammon
lain pula Mars. Dewa Mars adalah dewa yang kedua, yang merajalela dan
mempengaruhi kehidupan manusia. Perang hanyalah salah satu wujud dari simbol
Mars yang sesungguhnya. Mars adalah dewa kekerasan dalam mitologi Yunani.
Keperkasaannya selalu menjadi momok baik bagi dewa lain maupun bagi manusia,
karena kebengisan yang tercermin dari wajahnya. Bukankah teror yang sekarang
ini menjadi kata terpopuler di dunia menjadi wujud paling nyata dari dewa Mars
globalisasi? Kekerasan di mana-mana, teror di mana-mana, bukan hanya dalam
bentuk bom yang meledak di mana-mana, tetapi dalam bentuk lain seperti
perampokan, pembunuhan, penculikan dan semua bentuk kekerasan yang seolah sah
dan wajar dalam kehidupan manusia masa kini.
Kekerasan
bukan hanya terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap lingkungan hidup
kita. Kalau kita misalnya merenungkan peristiwa banjir bandang dan longsor yang
menelan ratusan korban di Sumatera Utara, maka nyatalah bahwa itu terjadi
sebagai akibat kekerasan manusia terhadap alam. Perambahan hutan sebagai salah
satu bentuk kekerasan manusia terhadap lingkungan telah membawa akibat yang
sangat fatal. Penggambaran ini sungguh memperlihatkan wujud nyata dari
kehidupan yang seakan porak poranda karena adanya kekerasan dan aksi teror yang
marak terjadi akhir-akhir ini.
Dewi Eros
sesungguhnyalah pembawa cinta dan damai dalam hidup manusia. Tetapi kini,
erotisme seluruh dunia merupakan anak kandung dari mammonisme yang menghalalkan
segala cara mendapatkan uang. Sungguh tragis memang, contohnya saja yang sangat
terkenal yaitu Cyber-porno yang merupakan salah satu bisnis
mengeksploitasi umat manusia demi uang. Kalau ia hanya menjadi bisnis, mungkin
tidak terlalu menjadi persoalan. Tetapi pornografi telah merusak moral banyak
manusia di dunia dengan penggambaran-penggambaran yang tidak sehat dan tidak
mendidik. Apa yang ditonjolkannya hanyalah hedonisme dan kekerasan. Inilah
dampak globalisasi yang menyusup melalui komunikasi dan informasi di dunia maya
yang melahirkan dewa baru bernama Eros.
Pemujaan terhadap seks di dunia maya ini
membawa nilai baru dalam hubungan rumah tangga, hubungan laki-laki dan
perempuan dan hubungan antar- manusia seolah tanpa penghormatan terhadap
gender. Tidak ada dunia yang tidak dilanda pornografi, mulai dari internet
sampai kepada tampilan handphone yang mini bisa menjadi ajang menikmati
pornografi. Dewi Eros (erotica) tak bisa lagi menjadi dewi yang paling berkuasa
di era globalisasi saat ini.
Penggambaran
dewa-dewi ini sungguh sangat tepat karena dilematika pengaruh globalisasi
sekarang ini lebih banyak mempengaruhi kehidupan manusia dari segi dampak
negatifnya. Sangat ironis rupanya telah terjadi pergeseran paradigma dalam soal
agama. Agama lama yang masih formal diakui umat manusia dan Tuhan yang benar,
sedang dimarginalisasi oleh dewa-dewi baru, yang ternyata lebih menarik dan
lebih meyakinkan banyak manusia di dunia. Materi, kenikmatan, kekerasan dan
erotisme sedang menguasai sanubari kita dan ternyata semua itu tidak membuat
kita menjadi manusia bebas melainkan menjadi manusia yang semakin terpenjara
dan terbelenggu. Karena itu, globalisasi dalam bentuk dewa-dewi baru itu tidak
lebih dari dewa-dewi palsu (pseudo-lords) yang menyesatkan. Yang
karenanya harus diwaspadai dan disiasati. Supaya tidak memerangkap kehidupan
kita.
Kita harus kembali memberi tempat pada Tuhan
yang asli dalam kehidupan kita, dalam relasi-relasi kita, baik relasi dengan
sesama manusia maupun dengan lingkungan hidup kita. Dengan memberi tempat pada
Tuhan yang asli dalam sanubari kita, maka relasi-relasi kemanusiaan kita yang
asli dan hakiki akan pulih dan akan memberikan kebebasan dan kemerdekaan yang
sejati kepada kita.
Dengan
mengembalikan Tuhan bertahta dalam hidup kita, maka dewa-dewi globalisasi yang
destruktif akan menyingkir dari kehidupan kita. Kita harus mensyukuri
keberadaan kita sebagai orang beragama dan ber-Tuhan, karena selalu tersedia
kesempatan untuk mengelakkan diri dari pengaruh buruk globalisasi dengan terus
meyakini dan mengamalkan ajaran agama yang kita anut.